CONTOH GUGON TUHON DAN TATA KRAMA
PENDAHULUAN
Menurut Koentjaraningrat (2000:181) kebudayaan dengan kata
dasar budaya berasal dari bahasa sangsakerta ”buddhayah”, yaitu bentuk jamak
dari buddhi yang berarti “budi” atau “akal”. Jadi Koentjaraningrat,
mendefinisikan budaya sebagai “daya budi” yang berupa cipta, karsa dan rasa,
sedangkan kebudayaan adalah hasil dari cipta, karsa dan rasa itu.
Koentjaraningrat juga menerangkan bahwa pada dasarnya banyak
sarjana yang membedakan antara budaya dan kebudayaan, dimana budaya merupakan
perkembangan majemuk budi daya, yang berati daya dari budi. Namun, pada kajian
Antropologi, budaya dianggap merupakan singkatan dari kebudayaan, tidak ada
perbedaan dari definsi.Jadi, kebudayaan atau disingkat “budaya”, menurut
Koentjaraningrat merupakan “keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan
hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri
manusia dengan belajar.”
Ada tiga wujud kebudayaan menurut Koentjaraningrat (1979:
186-187). Pertama wujud kebudayaan sebagai ide, gagasan, nilai, atau norma.
Kedua wujud kebudayaan sebagai aktifitas atau pola tindakan manusia dalam
masyarakat.Ketiga adalah wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya
manusia.Wujud pertama berbentuk absarak, sehingga tidak dapat dilihat dengan
indera penglihatan.Wujud ini terdapat di dalam pikiran masyarakat.Ide atau
gagasan banyak hidup bersama dengan masyarakat.Gagasan itu selalu berkaitan dan
tidak bisa lepas antara yang satu dengan yang lainnya.Keterkaitan antara setiap
gagasan ini disebut sistem. Koentjaraningrat mengemukaan bahwa kata ‘adat’
dalam bahasa Indonesia adalah kata yang sepadan untuk menggambarkan wujud
kebudayaan pertama yang berupa ide atau gagasan ini. Sedangkan untuk bentuk
jamaknya disebut dengan adat istiadat (1979: 187).Wujud kebudayaan yang kedua
disebut dengan sistem sosial (Koentjaraningrat, 1979: 187).Sistem sosial
dijelaskan Koentjaraningrat sebagai keseluruhan aktifitas manusia atau segala
bentuk tindakan manusia yang berinteraksi dengan manusia lainnya.Aktifitas ini
dilakukan setiap waktu dan membentuk pola-pola tertentu berdasarkan adat yang
berlaku dalam masyarakat tersebut.Tindakan-tindakan yang memiliki pola tersebut
disebut sebagai sistem sosial oleh Koentjaraningrat. Sistem sosial berbentuk
kongkrit karena bisa dilihat pola-pola tindakannya dengan indra penglihatan.
Kemudian wujud ketiga kebudayaan disebut dengan kebudayaan fisik
(Koentjaraningrat, 1979: 188).Wujud kebudayaan ini bersifat konkret karena
merupakan benda-benda dari segala hasil ciptaan, karya, tindakan, aktivitas,
atau perbuatan manusia dalam masyarakat.
Koentjaraningrat juga mengemukakan bahwa ada tujuh unsur
kebudayaan yaitu bahasa, kesenian, sistem religi, sistem teknologi, sistem mata
pencaharian, organisasi sosial, dan sistem ilmu pengetahuan (Koentjaraningrat,
1979: 203-204).Ketujuh unsur kebudayaan ini disebut Koentjaraningrat sebagai
unsur kebudayaan universal karena selalu ada pada setiap masyarakat.
Koentjaraningrat menjelaskan bahwa ketujuh unsur tersebut dapat diperinci lagi
menjadi sub unsur hingga beberapa kali menjadi lebih kecil. Koentjaraningrat
menjelaskan bahwa ketujuh unsur tersebut sudah pasti menjelma dalam tiga wujud
kebudayaan.Sebagai contoh Koentjaraningrat menjelaskan bahwa sistem religi
dapat dibagi menjadi tiga wujud kebudayaan.Dalam wujud kebudayaan yang pertama
atau ide atau gagasan, sistem religi memiliki gagasan tentang Tuhan, dewa-dewi,
roh-roh halus, surga dan neraka, rengkarnasi, dan sebagainya.Lalu sebagai wujud
kebudayaan yang kedua atau sistem sosial, sistem religi juga mempunyai
pola-pola aktifitas atau tindakan seperti upacara atau ritual baik yang
diadakan musiman atau setiap hari.Kemudian sistem religi juga mempunyai
benda-benda yang dianggap suci, sakral, atau religius sebagai bentuk wujud
kebudayaan ketiga yaitu kebudayaan fisik atau artefak.
GUGON TUHON
Orang Jawa memiliki citra progresif. Orang Jawa dengan
gigih mengekspresikan karyanya lewat budaya. Budaya Jawa adalah pancaran atau
pengejawantahan budi manusia Jawa yang mencakup kemauan, cita-cita, ide maupun
semangat dalam mencapai kesejahteraan, keselamatan, dan kebahagiaan hidup lahir
batin (Suwardi, 2005:1). Karena itu, sepantasnya kita bersyukur memiliki budaya
yang adiluhung dan wajib melestarikannya.
Orang Jawa pada
jaman dahulu percaya dan yakin kepada mitos atau dongeng yang belum tentu benar
kejadiannya dan nyata salah satunya adalah gugon tuhon. Namun sekarang,
sifat gugon tuhon itu malah berguna untuk sebagai nasehat atau pandangan
hidup. Menurut Subalidinata (1968:16 ) jenis gugon tuhon itu ada tiga macam yaitu :
a.
gugon tuhon salugu
b.
gugon tuhon kang isi pitutur sinandi
c.
gugon tuhon kan kalebu pepali utawa wewaler
Gugon tuhon salugu itu mirip dengan cerita atau dongeng kuno, yaitu anak
(bocah dalam bahasa Jawa)
yang termasuk golongan anak sukreta ‘tidak baik/kotor’ dan orang termasuk golongan panganjam-anjam ‘terancam’ itu akan menjadi mangsa atau makanannya
Bethara Kala. Supaya anak-anak dan orang-orang terhindar dari atau sebagai
mangsa Bethara Kala harusdiruwat ‘disucikan’ dan sebagai sarana dipentaskan pula wayang
kulit dengan lakon “Amurwakala”.
Gugon tuhon kang
isi pitutur sinandi ‘gugon tuhon yang
berisi nasehat yang tersembunyi/baik’, sebenarnya gugon tuhon tersebut memuat
ajaran. Namun, ajaran itu tidak jelas, cuma disamarkan. Pada umumnya orang,
kalau sudah dikatakan tidak baik atau ora ilok,kemudian takut
melanggar. Sebenarnya larangan itu bertujuan untuk ajaran (kawruh),
supaya tidak menjalankan berupa tindakan yang melanggar yang disebutkan dalam
larangan itu. Larangan itu berisi nasehat, misalnya: lire wong mangan karo ndhodhok, yen dinulu saru ‘baiknya orang makan sambil jongkok itu tidak sopan’,
maksudnya orang yang sedang makan sambil jongkong itu tidak nyaman atau tidak
sopan dan bisa jadi makanan yang sedang dibawanya akan jatuh.
Gugon tuhon kan
kalebu pepali utawa wewaler ‘gugon tuhon yang
termasuk larangan’gugon tuhon yang
berisi nasehat larangan, sebenarnya gugon tuhon tersebut
memuat ajaran. Ajaran itu jelas dengan adanya sangsi ketika dilanggar. Misalnya
: wong-wong kang manggon ing desa
Klepu (kulon jogja) ora kena nanggap wayang kulit, sebab jaman dulu tiap orang itu nanggap‘mengadakan
tontonan’ wayang kulit, setelah selesai pertunjukkan akan meninggal. Kemudian
juga pernah terjadi, rumah yang digunakan untuk pertunjukkan wayang kulit
tersebut dilempari batu, namun tidak ada yang tahu siapa yang melempari.
Sehingga sampai sekarang orang-orang yang yang ada di desa Klepu merasa takut
mengadakan tontonan/pertunjukkan yaitu wayang kulit.
Fenomena budaya tersebut sudah
diyakini sejak dahulu dikarenakan adanya pandangan-pandangan yang bersifat
irasional, namun dalam makalah ini akan coba dikupas juga pandangan secara
rasional. Pandangan-pandangan tersebut diyakini sebagai bentuk larangan atau
petuah maupun nasehat yang tidak boleh ditinggalkan. Namun, hal yang akan
dibahas hanya mengenaigugon tuhon kang isi pitutur sinandi secara irasional dan rasional melalui pandangan
filosofis, yakni ontologis, epistemologis, dan aksiologis.
Kata gugon dari
kata gugu + an, artinya mudah sekali percaya pada perkataan orang
lain atau dedongengan ‘cerita dongeng’. Kata tuhon dari
kata tuhu + an, artinya nyata; setia; sifat yang mudah percaya atau
percaya kepada ucapan (dongeng) orang lain (Poerwadarminta, 1939: 611).
Secara filosofis,
keberadaan gugon tuhon dalam budaya Jawa dapat dilihat dari aspek ontologis
(tentang yang ada) yang menjelaskan bahwa gugon tuhon merupakan pengetahuan yang tidak rasional atau tidak dapat dipahami oleh
rasio, maksudnya hubungan sebab akibat yang terjadi tidak dapat dipahami rasio
dan memiliki bentuk pemikiran dan ekspresi tentang kebenaran yang mutlak
didalam suatu masyarakat. Ekspresi dan pemikiran yang tidak rasional ini
kemudian membentuk suatu perilaku dalam kehidupan masyarakat dan menjadi suatu
budaya dalam hal ini budaya jawa.
Kemudian
berdasarkan aspek epistemologis (kebenaran dan kepastian), gugon tuhon dipahami
sebagai ungkapan kebenaran yang dapat diperoleh melalui hasil aktivitas budi
(pikiran), pengetahuan, pengalaman, dan pemahaman yang mendukung ungkapan - ungkapan gugon tuhon menjadi
perwujudan budaya Jawa.
Pada akhirnya,
berdasarkan aspek aksiologis (kegunaan ilmu pengetahuan), kegunaan utama dari gugon tuhon dalam budaya Jawa adalah memberi pengaruh yang baik terhadap masyarakat
Jawa melalui ungkapan - ungkapan gugon
tuhon tersebut yang secara
langsung juga membentuk citra pancaran atau pengejawantahan budi manusia Jawa
yang mencakup kemauan, cita-cita, ide maupun semangat dalam mencapai
kesejahteraan, keselamatan, dan kebahagiaan hidup lahir batin.
Jadi, gugon tuhon merupakan
bentuk pancaran atau pengejawantahan budi manusia Jawa yang mencakup kemauan,
cita-cita, ide maupun semangat dalam mencapai kesejahteraan, keselamatan, dan
kebahagiaan hidup lahir batin dalam kebudayaan Jawa. Gugon tuhon dapat dipahami secara irasional maupun rasional yang pada intinya
memberikan ajaran atau nasihat yang baik. Secara filosofis, keberadaan gugon tuhon dalam budaya Jawa tersebut dapat dilihat dari aspek ontologis (tentang
yang ada), epistemologis (kebenaran dan kepastian), dan aksiologis (kegunaan
ilmu pengetahuan).
TATA KRAMA
Tata krama terediri
atas kata tata artinya adat, norma atau aturan dan Krama artinya sopan santun
atau aturan tindakan. Jadi tata karama artinya norma kebiasaan yang mengatur
sopan santun dan disepakati oleh lingkungan. Sistem pengaturan dalam pergaulan
yang harus memiliki sikap saling menghormati dan dikenal dengan sebutan sopan
santun.
Menurut
para ahli, tata krama atau etika adalah perilaku, adat kebiasaan manusia dalam
pergaulan antara sesamanya dan menegaskan mana yang benar dan mana yang buruk.
Berikut adalah tata krama menurut
beberapa para ahli :
Drs. O. P. Simorangkir, tata krama atau etika sebagai
pandangan manusia dalam berpengaruh dalam berpakaian menurut ukuran dan nilai yang
baik.
Drs. Sidi Gajalba, dalam sisitematika filsafat , tata
krama adalah teori tentang tingkah laku perbuatan manusia dipandang dari segi
baik maupun buruk, sejauh yang dapat ditentukan oleh akal.
Drs. H. Burhanudin Salam, tata krama atau
etika adalah filsafat yang berbicara mengenai nilai dan norma yang terdapat
perilaku manusia dalam hidupnya.
Bertens (1999 : 6), tata krama atau etika memiliki 3
arti, yaitu :
a.
Tata krama atau etika
dalam nilai – nilai atau norma – norma yang menjadi pegangan bagi seseorang
atau suatu kelompok orang dalam mengatur tingkah lakunya.
b.
Tata krama atau etika
dalam arti kumpulan asas atau nilai moral dimaksudkan sebagai kode etik.
c.
Tata krama atau etik
dalam arti ilmu tentang yang baik atau buruk.
Black (1990 : 11),
tata cara atau etika adalah ilmu yang mempunyai cara manusia memperlakukan
sesamanya dan apa hidup yang baik.
GUGON TUHON DI
ERA MODERN
Berapa gugon tuhon
yang ada antara lain sebagai berikut :
Gugon tuhon kang isi pitutur sinandi gugon tuhon yang berisi nasehat yang tersembunyi
atau baik.
·
Aja ngidoni sumur, mundhak suwing
lambene
Aja ngidoni sumur, mundhak suwing lambene ‘jangan meludahi sumur, karena dikawatirkan akan
sumbing bibirnya’. Meludahi sumur akan sumbing bibirnya merupakan bentuk
irasional/tidak logis. Sedangkan secara rasional, ludah itu kotor, dan air
sumur yang baik harus dalam keadaan bersih yang berguna untuk memasak, minum,
mandi dan sebagainya. Bila air sumur diludahi maka akan menjadi kotor dan tidak
baik untuk dipergunakan sehari-hari.
·
Aja lungguh bantal, mundhak wudunen
Aja lungguh bantal, mundhak wudunen ‘jangan duduk diatas bantal, karena dikawatirkan akan
bisulan‘. Secara irasioal bantal yang diduduki karena dikawatirkan akan
bisulan, sedangkan secara rasional, bantal merupakan tempat untuk kepala (sirah) – waktu manusia tidur –
kemudian dipakai untuk pantat/bokong,
hal tersebut tidak pantas dilakukan.
·
Simpen lampit diedegake
Simpen lampit diedegake ‘menyimpan pisau diberdirikan’. menyimpan pisau dengan
cara diberdirikan akan mengawatirkan, sebab jika ada anak kecil (bocah) yang
kesitu dapat karubuhan/terkena pisau.
·
Wong ngandhut lungguh tampah
Wong ngandhut lungguh tampah ‘orang yang sedang hamil duduk di tampah’. Orang yang
sedang hamil duduk di tampah itu ora ilok. Secara rasional kalau tampah itu di duduki orang yang sedang hamil akan jebol atau
rusak, dan bisa mengganggu kesehatan orang yang sedang hamil. Bahkan bila tampah diduduki oleh siapapun logikanya akan rusak karena
fungsi tampah bukan untuk diduduki.
·
Nyapu bengi
Nyapu bengi ‘menyapu
pada malam hari’. Menyapu pada malam hari itu tidak baik karena menyapu pada
malam hari tidak bersih serta mbledugi yang
sedang tidur, atau bisa jadi menyapu dimalam hari, kotoran yang disapu tidak
tampak jelas dikhawatirkan tidak bersih.
·
Mbuwang uwuh aneng longan
Mbuwang uwuh aneng longan ‘membuang sampah di bawah kasur’. Itu pastinya tidak
baik untuk kesehatan, sebab kalau sampah itu membusuk bisa menjadikan bau tidak
sedap/tidak enak, bisa juga kondisi seperti itu untuk sarang bibit penyakit.
·
Aja mangan
karo turu, mengko dadi ulo
Aja mangan karo turu, mengko
dadi ulo,
jangan makan sambil tiduran, nanti bisa jadi ular.
Pernyataan seperti itu tidak ada hubungannya sama sekali dan sangat irasional.
Rasionalnya, orang yang makan dengan tidur tidak baik, karena nasi yang
disendok bisa berjatuhan dan tempat tidur menjadi kotor.
·
Nyapu sing
resik, mengko ndak bojone brewok
Nyapu sing resik, mengko
ndak bojone brewok, kalau menyapu yang bersih jangan sampai ada yang
tertinggal kotorannya (brewok), nanti bisa mendapatkan suami yang brewokan.
Secara rasional, menyapu dengan masih meninggalkan kotoran (brewok)
meninggalkan rasa tidak enak, karena lantai tidak bersih dan terasa tidak
kesat.
·
Aja ngoroti
petelot pucuk ngisor lan nduwur,
Aja ngoroti petelot pucuk ngisor lan nduwur mengko ndak mati dadi
pocong jangan merauti pensil pada kedua ujungnya, nanti
apabila mati akan jadi pocong. Seacara rasional setiap orang yang mati,
nantinya akan dipocongi. Sehingga hubungan antara pencil yang diraut
dengan model apapun tidak ada hubungannya dengan kematian.
·
Aja tuku
lenga gas wayah udan
Aja tuku lenga gas wayah
udan, jangan beli minyak tanah di saat hujan turun. Secara mitologi, membeli
minyak dengan turunnya hujan tidak ada hubungannya. Secara rasional, membeli
minyak tanah pada saat hujan turun kalau bisa dihindari, sebab minyak tanah apabila
bercampur dengan air nantinya tidak akan berfungsi. Sehingga percuma dan
membuang uang apabila membeli barang namun tidak digunakan.
·
Aja dolanan
beras, mengko ndak tangane kriting
Aja dolanan beras,
mengko ndak tangane kriting, jangan mainan beras, nanti jari-jari tangannya
menjadi kriting. Secara rasional, mainan beras dengan tangan kriting tidak ada
hubungannya sama sekali. Beras merupakan bahan mentah makanan pokok, apabila
dibuat mainan merupakan hal yang tidak baik. Dalam kata lain tidak sopan
makanan dibuat makanan.
·
Aja mangan ana tengah dalan, mengko ndak ketampik jaka
Aja mangan ana
tengah dalan, mengko ndak ketampik jaka, jangan makan di tengah jalan, nanti bisa ditolak perjaka. Secara rasional,
jalan adalah tempat untuk berlalu lalang, sehingga apabila makan di tengah
jalan merupakan hal yang tidak baik, tidak sopan, dan tidak sedap dipandang
mata.
·
Nyapu diendheg ana tengah lawang
Nyapu diendheg ana tengah lawang ‘menyapu berhenti di tengah lawang’. Ingatlah pintu
itu kan jalan, kalau ada uwuh ‘kotoran/sampah’ pasti
tidak enak dilihat atau kesannya rumah tidak bersih.
·
Ngandhang kebo ana ing njero omah
Ngandhang kebo ana ing njero omah ‘merumahkan kebo di dalam rumah’ itu mestinya tidak
baik. Secara irasional, kebo yang ada di dalam rumah akan mengurangi rejeki
bahkan biasa jadi akan menolak rejeki yang datang. Sedangkan secara rasional,
bau atau aroma kotoran kebo akan memenui rumah, bisa juga makanan yang mau
dimakan manusia terkena kotoran sehingga kurang baik untuk tubuh manusia
(kurang sehat).
TATA KRAMA DALAM BUDAYA ORANG JAWA
Berapa dasar-dasar tata krama baik di lingkungan
keluarga, sekolah maupun masyarakat yang
ada antara lain sebagai berikut :
- Menghormati orang yang lebih tua dan menyayangi
orang yang lebih muda.
- Mengucapkan terima kasih jika menerima
bantuan/pertolongan atau jika diberi sesuatu.
- Meminta maaf jika melakukan kesalahan.
- Menengok dan mendoakan teman, keluarga atau
tetangga yang sakit.
- Mengucapkan salam jika berjumpa guru, teman
ataupun tetangga.
- Melayat jika ada teman, kerabat, guru dan
tetangga yang meninggal dunia.
- Mentaati peraturan dan kesopanan dengan tidak
mengganggu kepentingan orang lain ketika berada ditempat-tempat umum.
- Mendahulukan kepentingan orang lain di atas
kepentingan sendiri.
- Menghormati orang lain dengan tidak bersikap
sombong, angkuh, suka mengejek, berkata kasar, jorok maupun berkata kotor.
- Mampu mengendalikan amarah dan rasa tersinggung
dengan baik.
Beberapa tata krama
dalam kehidupan sehari – hari tersebut sangat berpengaruh dalam kehidupan
bermasyarakat oleh masyarakat dukuh Kentingan. Karena apabila salah satu tata
krama tersebut dengan sengaja atau tidak sengaja dilanggar oleh seseorang, maka
seseorang yang melanggar tata krama tersebut akan dirasani atau digunjingkan oleh tetangga atau masyarakat yang
mengetahui pelanggaran tata krama tersebut. Namun, seiring berjalannya wktu dn
era modern, sikap cuek atau acuh tak
acuh sangat berdampak besar pada penerapan tata krama tersebut. Warga atau
masyarakat sudah jarang memperhatikan tata krama dalam kehidupan sehari – hari.
PENUTUP
KESIMPULAN
GUGON TUHON
Pada era modern seperti sekarang ini, gugon tuhon kurang mendapat tempat pada
kehidupan masyarakat. Gugon tuhon
dianggap sepele atau tidak penting karena terkadang tidak masuk akal dan
dianggap hanya sekedar untuk menakut – nakuti, namun Sebenarnya larangan yang
terdapat dalam gugon tuhon tersebut
bertujuan untuk ajaran yang baik (kawruh
kang becik) agar tidak melakukan tindakan yang melanggar norma atau pun
melakukan tindakan yang dianggap tidak sopan dan tabu. Dalam larangan-larangan
tersebut terkandung nasehat yang baik meskipun kadang tidak dapat dipikir
secara logika. Sebagai manusia yang berbudaya dan berakal, marilah kita tetap
berjuang untuk budaya dan kelestariannya, namun agar tidak terjadi salah
kaprah, kita gunakan akal dan pikiran kita untuk menganalisanya agar tidak
terjadi kesalahpahaman dalam proses berbudaya adi luhung kita.
TATA KRAMA
Membiasakan diri mengindahkan tata krama adalah salah satu
cara lahiriah untuk dapat membantu mencapai moral yang baik. Tetapi tidaklah
berarti bahwa orang yang selalu sopan dan mengindahkan tata krama memiliki
moral yang baik. Sebaliknya belum tentu yang berkelakuan atau bermental baik,
mengetahui serta melaksanakan tata krama dalam kehidupannya sehari-hari. Yang
dimaksud dengan tata krama yang dalam kehidupan disini adalah aturan sopan
santun yang dapat diterima dan dijadikan kebiasaan cara hidup dalam masyarakat.
Dalam era pembangunan dewasa ini kita banyak bergaul dengan orang-orang yang
berasal dari negara yang berbeda. Oleh karena itu, kita harus benar – benar
menjaga tata krama atau etika kita. Dalam bergaul dengan orang-orang yang
berasal dari negara lain, kita mencontoh bisa saja mencontoh gaya hidup mereka,
namun kita tidak boleh menghilangkan adat istiadat dan tradisi kita yang baik.
Yang baik tetap kita pertahankan, sedangkan yang tidak baik harus kita
tinggalkan. Tata ktama atau etika ini berlaku untuk semua orang baik pria
maupun wanita, tua ataupun muda, bahkan juga anak-anak. Anak selalu mencontoh
apa yang dilakukan oleh orang tuanya, sehingga perlu sebagai orang tua untuk
menanamkan sejak dini nilai-nilai moral dan etika yang baik terhadap anak, agar
mereka tidak salah kelak dalam pergaulan hidupnya dengan sesamanya.
DAFTAR REFERENSI
Abbas Hamami Mintaredja. 2003. Teori-teori Epistemologi
Common Sence. Yogyakarta: Penerbit
Paradigma.
Poerwadarminta W. J. S. 1939. Baoesastra Djawa. Batavia: J. B Wolters.
Suwardi Endraswara. 2005. Buku Pinter Budaya Jawa:
Mutiara Adiluhung orang Jawa. Yogyakarta:
Gelombang Pasang.
Subalidinata R.S. 1968. Sarining Kasusastran Djawa. Yogyakarta: P.T Jaker.
http//kawansejati.ee.itb.ac.id/tatakrama
http//ukimedia.wordpress.com/2007/05/06/tata-krama/
http//www12-iman.com/data-artikel/tataa-krama-01.doc.
http//noorazlia.tripod.com/tatakrama:html
http//ukimedia.wordpress.com/2007/05/06/tata-krama/
http//www12-iman.com/data-artikel/tataa-krama-01.doc.
http//noorazlia.tripod.com/tatakrama:html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar