Kamis, 27 Maret 2014


CONTOH GUGON TUHON DAN TATA KRAMA

PENDAHULUAN
Menurut Koentjaraningrat (2000:181) kebudayaan dengan kata dasar budaya berasal dari bahasa sangsakerta ”buddhayah”, yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti “budi” atau “akal”. Jadi Koentjaraningrat, mendefinisikan budaya sebagai “daya budi” yang berupa cipta, karsa dan rasa, sedangkan kebudayaan adalah hasil dari cipta, karsa dan rasa itu.
Koentjaraningrat juga menerangkan bahwa pada dasarnya banyak sarjana yang membedakan antara budaya dan kebudayaan, dimana budaya merupakan perkembangan majemuk budi daya, yang berati daya dari budi. Namun, pada kajian Antropologi, budaya dianggap merupakan singkatan dari kebudayaan, tidak ada perbedaan dari definsi.Jadi, kebudayaan atau disingkat “budaya”, menurut Koentjaraningrat  merupakan “keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar.”
Ada tiga wujud kebudayaan menurut Koentjaraningrat (1979: 186-187). Pertama wujud kebudayaan sebagai ide, gagasan, nilai, atau norma. Kedua wujud kebudayaan sebagai aktifitas atau pola tindakan manusia dalam masyarakat.Ketiga adalah wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.Wujud pertama berbentuk absarak, sehingga tidak dapat dilihat dengan indera penglihatan.Wujud ini terdapat di dalam pikiran masyarakat.Ide atau gagasan banyak hidup bersama dengan masyarakat.Gagasan itu selalu berkaitan dan tidak bisa lepas antara yang satu dengan yang lainnya.Keterkaitan antara setiap gagasan ini disebut sistem. Koentjaraningrat mengemukaan bahwa kata ‘adat’ dalam bahasa Indonesia adalah kata yang sepadan untuk menggambarkan wujud kebudayaan pertama yang berupa ide atau gagasan ini. Sedangkan untuk bentuk jamaknya disebut dengan adat istiadat (1979: 187).Wujud kebudayaan yang kedua disebut dengan sistem sosial (Koentjaraningrat, 1979: 187).Sistem sosial dijelaskan Koentjaraningrat sebagai keseluruhan aktifitas manusia atau segala bentuk tindakan manusia yang berinteraksi dengan manusia lainnya.Aktifitas ini dilakukan setiap waktu dan membentuk pola-pola tertentu berdasarkan adat yang berlaku dalam masyarakat tersebut.Tindakan-tindakan yang memiliki pola tersebut disebut sebagai sistem sosial oleh Koentjaraningrat. Sistem sosial berbentuk kongkrit karena bisa dilihat pola-pola tindakannya dengan indra penglihatan. Kemudian wujud ketiga kebudayaan disebut dengan kebudayaan fisik (Koentjaraningrat, 1979: 188).Wujud kebudayaan ini bersifat konkret karena merupakan benda-benda dari segala hasil ciptaan, karya, tindakan, aktivitas, atau perbuatan manusia dalam masyarakat.
Koentjaraningrat juga mengemukakan bahwa ada tujuh unsur kebudayaan yaitu bahasa, kesenian, sistem religi, sistem teknologi, sistem mata pencaharian, organisasi sosial, dan sistem ilmu pengetahuan (Koentjaraningrat, 1979: 203-204).Ketujuh unsur kebudayaan ini disebut Koentjaraningrat sebagai unsur kebudayaan universal karena selalu ada pada setiap masyarakat. Koentjaraningrat menjelaskan bahwa ketujuh unsur tersebut dapat diperinci lagi menjadi sub unsur hingga beberapa kali menjadi lebih kecil. Koentjaraningrat menjelaskan bahwa ketujuh unsur tersebut sudah pasti menjelma dalam tiga wujud kebudayaan.Sebagai contoh Koentjaraningrat menjelaskan bahwa sistem religi dapat dibagi menjadi tiga wujud kebudayaan.Dalam wujud kebudayaan yang pertama atau ide atau gagasan, sistem religi memiliki gagasan tentang Tuhan, dewa-dewi, roh-roh halus, surga dan neraka, rengkarnasi, dan sebagainya.Lalu sebagai wujud kebudayaan yang kedua atau sistem sosial, sistem religi juga mempunyai pola-pola aktifitas atau tindakan seperti upacara atau ritual baik yang diadakan musiman atau setiap hari.Kemudian sistem religi juga mempunyai benda-benda yang dianggap suci, sakral, atau religius sebagai bentuk wujud kebudayaan ketiga yaitu kebudayaan fisik atau artefak.


GUGON TUHON
Orang Jawa memiliki citra progresif. Orang Jawa dengan gigih mengekspresikan karyanya lewat budaya. Budaya Jawa adalah pancaran atau pengejawantahan budi manusia Jawa yang mencakup kemauan, cita-cita, ide maupun semangat dalam mencapai kesejahteraan, keselamatan, dan kebahagiaan hidup lahir batin (Suwardi, 2005:1). Karena itu, sepantasnya kita bersyukur memiliki budaya yang adiluhung dan wajib melestarikannya.
Orang Jawa pada jaman dahulu percaya dan yakin kepada mitos atau dongeng yang belum tentu benar kejadiannya dan nyata salah satunya adalah gugon tuhon. Namun sekarang, sifat gugon tuhon itu malah berguna untuk sebagai nasehat atau pandangan hidup. Menurut Subalidinata (1968:16 ) jenis gugon tuhon itu ada tiga macam yaitu :
a.                  gugon tuhon salugu
b.                  gugon tuhon kang isi pitutur sinandi
c.                   gugon tuhon kan kalebu pepali utawa wewaler
Gugon tuhon salugu itu mirip dengan cerita atau dongeng kuno, yaitu anak (bocah dalam bahasa Jawa) yang termasuk golongan anak sukreta ‘tidak baik/kotor’ dan orang termasuk golongan panganjam-anjam ‘terancam’ itu akan menjadi mangsa atau makanannya Bethara Kala. Supaya anak-anak dan orang-orang terhindar dari atau sebagai mangsa Bethara Kala harusdiruwat ‘disucikan’ dan sebagai sarana dipentaskan pula wayang kulit dengan lakon “Amurwakala”.
Gugon tuhon kang isi pitutur sinandi ‘gugon tuhon yang berisi nasehat yang tersembunyi/baik’, sebenarnya gugon tuhon tersebut memuat ajaran. Namun, ajaran itu tidak jelas, cuma disamarkan. Pada umumnya orang, kalau sudah dikatakan tidak baik atau ora ilok,kemudian takut melanggar. Sebenarnya larangan itu bertujuan untuk ajaran (kawruh), supaya tidak menjalankan berupa tindakan yang melanggar yang disebutkan dalam larangan itu. Larangan itu berisi nasehat, misalnya: lire wong mangan karo ndhodhok, yen dinulu saru ‘baiknya orang makan sambil jongkok itu tidak sopan’, maksudnya orang yang sedang makan sambil jongkong itu tidak nyaman atau tidak sopan dan bisa jadi makanan yang sedang dibawanya akan jatuh.
Gugon tuhon kan kalebu pepali utawa wewaler ‘gugon tuhon yang termasuk larangan’gugon tuhon yang berisi nasehat larangan, sebenarnya gugon tuhon tersebut memuat ajaran. Ajaran itu jelas dengan adanya sangsi ketika dilanggar. Misalnya : wong-wong kang manggon ing desa Klepu (kulon jogja) ora kena nanggap wayang kulit, sebab jaman dulu tiap orang itu nanggap‘mengadakan tontonan’ wayang kulit, setelah selesai pertunjukkan akan meninggal. Kemudian juga pernah terjadi, rumah yang digunakan untuk pertunjukkan wayang kulit tersebut dilempari batu, namun tidak ada yang tahu siapa yang melempari. Sehingga sampai sekarang orang-orang yang yang ada di desa Klepu merasa takut mengadakan tontonan/pertunjukkan yaitu wayang kulit.
Fenomena budaya tersebut sudah diyakini sejak dahulu dikarenakan adanya pandangan-pandangan yang bersifat irasional, namun dalam makalah ini akan coba dikupas juga pandangan secara rasional. Pandangan-pandangan tersebut diyakini sebagai bentuk larangan atau petuah maupun nasehat yang tidak boleh ditinggalkan. Namun, hal yang akan dibahas hanya mengenaigugon tuhon kang isi pitutur sinandi secara irasional dan rasional melalui pandangan filosofis, yakni ontologis, epistemologis, dan aksiologis.
Kata gugon dari kata gugu + an, artinya mudah sekali percaya pada perkataan orang lain atau dedongengan ‘cerita dongeng’. Kata tuhon dari kata tuhu + an, artinya nyata; setia; sifat yang mudah percaya atau percaya kepada ucapan (dongeng) orang lain (Poerwadarminta, 1939: 611).
Secara filosofis, keberadaan gugon tuhon dalam budaya Jawa dapat dilihat dari aspek ontologis (tentang yang ada) yang menjelaskan bahwa gugon tuhon merupakan pengetahuan yang tidak rasional atau tidak dapat dipahami oleh rasio, maksudnya hubungan sebab akibat yang terjadi tidak dapat dipahami rasio dan memiliki bentuk pemikiran dan ekspresi tentang kebenaran yang mutlak didalam suatu masyarakat. Ekspresi dan pemikiran yang tidak rasional ini kemudian membentuk suatu perilaku dalam kehidupan masyarakat dan menjadi suatu budaya dalam hal ini budaya jawa.
Kemudian berdasarkan aspek epistemologis (kebenaran dan kepastian), gugon tuhon dipahami sebagai ungkapan kebenaran yang dapat diperoleh melalui hasil aktivitas budi (pikiran), pengetahuan, pengalaman, dan pemahaman yang mendukung ungkapan - ungkapan gugon tuhon menjadi perwujudan budaya Jawa.
Pada akhirnya, berdasarkan aspek aksiologis (kegunaan ilmu pengetahuan), kegunaan utama dari gugon tuhon dalam budaya Jawa adalah memberi pengaruh yang baik terhadap masyarakat Jawa melalui ungkapan - ungkapan gugon tuhon tersebut yang secara langsung juga membentuk citra pancaran atau pengejawantahan budi manusia Jawa yang mencakup kemauan, cita-cita, ide maupun semangat dalam mencapai kesejahteraan, keselamatan, dan kebahagiaan hidup lahir batin.
Jadi, gugon tuhon merupakan bentuk pancaran atau pengejawantahan budi manusia Jawa yang mencakup kemauan, cita-cita, ide maupun semangat dalam mencapai kesejahteraan, keselamatan, dan kebahagiaan hidup lahir batin dalam kebudayaan Jawa. Gugon tuhon dapat dipahami secara irasional maupun rasional yang pada intinya memberikan ajaran atau nasihat yang baik. Secara filosofis, keberadaan gugon tuhon dalam budaya Jawa tersebut dapat dilihat dari aspek ontologis (tentang yang ada), epistemologis (kebenaran dan kepastian), dan aksiologis (kegunaan ilmu pengetahuan).

                                                                      
TATA KRAMA
            Tata krama terediri atas kata tata artinya adat, norma atau aturan dan Krama artinya sopan santun atau aturan tindakan. Jadi tata karama artinya norma kebiasaan yang mengatur sopan santun dan disepakati oleh lingkungan. Sistem pengaturan dalam pergaulan yang harus memiliki sikap saling menghormati dan dikenal dengan sebutan sopan santun.
            Menurut para ahli, tata krama atau etika adalah perilaku, adat kebiasaan manusia dalam pergaulan antara sesamanya dan menegaskan mana yang benar dan mana yang buruk.
Berikut adalah tata krama menurut beberapa para ahli :
Drs. O. P. Simorangkir, tata krama atau etika sebagai pandangan manusia dalam berpengaruh dalam berpakaian menurut ukuran dan nilai yang baik.
Drs. Sidi Gajalba, dalam sisitematika filsafat , tata krama adalah teori tentang tingkah laku perbuatan manusia dipandang dari segi baik maupun buruk, sejauh yang dapat ditentukan oleh akal.
Drs. H. Burhanudin Salam, tata krama atau etika adalah filsafat yang berbicara mengenai nilai dan norma yang terdapat perilaku manusia dalam hidupnya.
Bertens (1999 : 6), tata krama atau etika memiliki 3 arti, yaitu :
a.      Tata krama atau etika dalam nilai – nilai atau norma – norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok orang dalam mengatur tingkah lakunya.
b.      Tata krama atau etika dalam arti kumpulan asas atau nilai moral dimaksudkan sebagai kode etik.
c.       Tata krama atau etik dalam arti ilmu tentang yang baik atau buruk.
Black (1990 : 11), tata cara atau etika adalah ilmu yang mempunyai cara manusia memperlakukan sesamanya dan apa hidup yang baik.

GUGON TUHON DI ERA MODERN

Berapa gugon tuhon yang ada antara lain sebagai berikut :
Gugon tuhon kang isi pitutur sinandi gugon tuhon yang berisi nasehat yang tersembunyi atau baik.
·         Aja ngidoni sumur, mundhak suwing lambene         
Aja ngidoni sumur, mundhak suwing lambene ‘jangan meludahi sumur, karena dikawatirkan akan sumbing bibirnya’. Meludahi sumur akan sumbing bibirnya merupakan bentuk irasional/tidak logis. Sedangkan secara rasional, ludah itu kotor, dan air sumur yang baik harus dalam keadaan bersih yang berguna untuk memasak, minum, mandi dan sebagainya. Bila air sumur diludahi maka akan menjadi kotor dan tidak baik untuk dipergunakan sehari-hari.
·         Aja lungguh bantal, mundhak wudunen
Aja lungguh bantal, mundhak wudunen ‘jangan duduk diatas bantal, karena dikawatirkan akan bisulan‘. Secara irasioal bantal yang diduduki karena dikawatirkan akan bisulan, sedangkan secara rasional, bantal merupakan tempat untuk kepala (sirah) – waktu manusia tidur – kemudian dipakai untuk pantat/bokong, hal tersebut tidak pantas dilakukan.
·         Simpen lampit diedegake
Simpen lampit diedegake ‘menyimpan pisau diberdirikan’. menyimpan pisau dengan cara diberdirikan akan mengawatirkan, sebab jika ada anak kecil (bocah) yang kesitu dapat karubuhan/terkena pisau.
·         Wong ngandhut lungguh tampah
Wong ngandhut lungguh tampah ‘orang yang sedang hamil duduk di tampah’. Orang yang sedang hamil duduk di tampah itu ora ilok. Secara rasional kalau tampah itu di duduki orang yang sedang hamil akan jebol atau rusak, dan bisa mengganggu kesehatan orang yang sedang hamil. Bahkan bila tampah diduduki oleh siapapun logikanya akan rusak karena fungsi tampah bukan untuk diduduki.
·         Nyapu bengi
Nyapu bengi ‘menyapu pada malam hari’. Menyapu pada malam hari itu tidak baik karena menyapu pada malam hari tidak bersih serta mbledugi yang sedang tidur, atau bisa jadi menyapu dimalam hari, kotoran yang disapu tidak tampak jelas dikhawatirkan tidak bersih.
·         Mbuwang uwuh aneng longan
Mbuwang uwuh aneng longan ‘membuang sampah di bawah kasur’. Itu pastinya tidak baik untuk kesehatan, sebab kalau sampah itu membusuk bisa menjadikan bau tidak sedap/tidak enak, bisa juga kondisi seperti itu untuk sarang bibit penyakit.
·         Aja mangan karo turu, mengko dadi ulo
Aja mangan karo turu, mengko dadi ulo, jangan makan sambil tiduran, nanti bisa jadi ular. Pernyataan seperti itu tidak ada hubungannya sama sekali dan sangat irasional. Rasionalnya, orang yang makan dengan  tidur tidak baik, karena nasi yang disendok bisa berjatuhan dan tempat tidur menjadi kotor.
·         Nyapu sing resik, mengko ndak bojone brewok
Nyapu sing resik, mengko ndak bojone brewok, kalau menyapu yang bersih jangan sampai ada yang tertinggal kotorannya (brewok), nanti bisa mendapatkan suami yang brewokan. Secara rasional, menyapu dengan masih meninggalkan kotoran (brewok) meninggalkan rasa tidak enak, karena lantai tidak bersih dan terasa tidak kesat.
·         Aja ngoroti petelot pucuk ngisor lan nduwur,
 Aja ngoroti petelot pucuk ngisor lan nduwur mengko ndak mati dadi pocong jangan merauti pensil pada kedua ujungnya, nanti apabila mati akan jadi pocong. Seacara rasional setiap orang yang mati, nantinya akan dipocongi. Sehingga  hubungan antara pencil yang diraut dengan model apapun tidak ada hubungannya dengan kematian.
·         Aja tuku lenga gas wayah udan
Aja tuku lenga gas wayah udan, jangan beli minyak tanah di saat hujan turun. Secara mitologi, membeli minyak dengan turunnya hujan tidak ada hubungannya. Secara rasional, membeli minyak tanah pada saat hujan turun kalau bisa dihindari, sebab minyak tanah apabila bercampur dengan air nantinya tidak akan berfungsi. Sehingga percuma dan membuang uang apabila membeli barang namun tidak digunakan.
·         Aja dolanan beras, mengko ndak tangane kriting
      Aja dolanan beras, mengko ndak tangane kriting,  jangan mainan beras, nanti jari-jari tangannya menjadi kriting. Secara rasional, mainan beras dengan tangan kriting tidak ada hubungannya sama sekali. Beras merupakan bahan mentah makanan pokok, apabila dibuat mainan merupakan hal yang tidak baik. Dalam kata lain tidak sopan makanan dibuat makanan.
·         Aja mangan ana tengah dalan, mengko ndak ketampik jaka
                              Aja mangan ana tengah dalan, mengko ndak ketampik jaka, jangan makan di tengah jalan, nanti bisa ditolak perjaka. Secara rasional, jalan adalah tempat untuk berlalu lalang, sehingga apabila makan di tengah jalan merupakan hal yang tidak baik, tidak sopan, dan tidak sedap dipandang mata.
·         Nyapu diendheg ana tengah lawang
Nyapu diendheg ana tengah lawang ‘menyapu berhenti di tengah lawang’. Ingatlah pintu itu kan jalan, kalau ada uwuh ‘kotoran/sampah’ pasti tidak enak dilihat atau kesannya rumah tidak bersih.

·         Ngandhang kebo ana ing njero omah
Ngandhang kebo ana ing njero omah ‘merumahkan kebo di dalam rumah’ itu mestinya tidak baik. Secara irasional, kebo yang ada di dalam rumah akan mengurangi rejeki bahkan biasa jadi akan menolak rejeki yang datang. Sedangkan secara rasional, bau atau aroma kotoran kebo akan memenui rumah, bisa juga makanan yang mau dimakan manusia terkena kotoran sehingga kurang baik untuk tubuh manusia (kurang sehat).
TATA KRAMA DALAM BUDAYA ORANG JAWA

Berapa dasar-dasar tata krama baik di lingkungan keluarga, sekolah maupun masyarakat yang ada antara lain sebagai berikut :
  • Menghormati orang yang lebih tua dan menyayangi orang yang lebih muda.
  • Mengucapkan terima kasih jika menerima bantuan/pertolongan atau jika diberi sesuatu.
  • Meminta maaf jika melakukan kesalahan.
  • Menengok dan mendoakan teman, keluarga atau tetangga yang sakit.
  • Mengucapkan salam jika berjumpa guru, teman ataupun tetangga.
  • Melayat jika ada teman, kerabat, guru dan tetangga yang meninggal dunia.
  • Mentaati peraturan dan kesopanan dengan tidak mengganggu kepentingan orang lain ketika berada ditempat-tempat umum.
  • Mendahulukan kepentingan orang lain di atas kepentingan sendiri.
  • Menghormati orang lain dengan tidak bersikap sombong, angkuh, suka mengejek, berkata kasar, jorok maupun berkata kotor.
  • Mampu mengendalikan amarah dan rasa tersinggung dengan baik.
Beberapa tata krama dalam kehidupan sehari – hari tersebut sangat berpengaruh dalam kehidupan bermasyarakat oleh masyarakat dukuh Kentingan. Karena apabila salah satu tata krama tersebut dengan sengaja atau tidak sengaja dilanggar oleh seseorang, maka seseorang yang melanggar tata krama tersebut akan dirasani atau digunjingkan oleh tetangga atau masyarakat yang mengetahui pelanggaran tata krama tersebut. Namun, seiring berjalannya wktu dn era modern, sikap cuek atau acuh tak acuh sangat berdampak besar pada penerapan tata krama tersebut. Warga atau masyarakat sudah jarang memperhatikan tata krama dalam kehidupan sehari – hari.


PENUTUP
KESIMPULAN
GUGON TUHON
Pada era modern seperti sekarang ini, gugon tuhon kurang mendapat tempat pada kehidupan masyarakat. Gugon tuhon dianggap sepele atau tidak penting karena terkadang tidak masuk akal dan dianggap hanya sekedar untuk menakut – nakuti, namun Sebenarnya larangan yang terdapat dalam gugon tuhon tersebut bertujuan untuk ajaran yang baik (kawruh kang becik) agar tidak melakukan tindakan yang melanggar norma atau pun melakukan tindakan yang dianggap tidak sopan dan tabu. Dalam larangan-larangan tersebut terkandung nasehat yang baik meskipun kadang tidak dapat dipikir secara logika. Sebagai manusia yang berbudaya dan berakal, marilah kita tetap berjuang untuk budaya dan kelestariannya, namun agar tidak terjadi salah kaprah, kita gunakan akal dan pikiran kita untuk menganalisanya agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam proses berbudaya adi luhung kita.
 
TATA KRAMA
      
Membiasakan diri mengindahkan tata krama adalah salah satu cara lahiriah untuk dapat membantu mencapai moral yang baik. Tetapi tidaklah berarti bahwa orang yang selalu sopan dan mengindahkan tata krama memiliki moral yang baik. Sebaliknya belum tentu yang berkelakuan atau bermental baik, mengetahui serta melaksanakan tata krama dalam kehidupannya sehari-hari. Yang dimaksud dengan tata krama yang dalam kehidupan disini adalah aturan sopan santun yang dapat diterima dan dijadikan kebiasaan cara hidup dalam masyarakat. Dalam era pembangunan dewasa ini kita banyak bergaul dengan orang-orang yang berasal dari negara yang berbeda. Oleh karena itu, kita harus benar – benar menjaga tata krama atau etika kita. Dalam bergaul dengan orang-orang yang berasal dari negara lain, kita mencontoh bisa saja mencontoh gaya hidup mereka, namun kita tidak boleh menghilangkan adat istiadat dan tradisi kita yang baik. Yang baik tetap kita pertahankan, sedangkan yang tidak baik harus kita tinggalkan. Tata ktama atau etika ini berlaku untuk semua orang baik pria maupun wanita, tua ataupun muda, bahkan juga anak-anak. Anak selalu mencontoh apa yang dilakukan oleh orang tuanya, sehingga perlu sebagai orang tua untuk menanamkan sejak dini nilai-nilai moral dan etika yang baik terhadap anak, agar mereka tidak salah kelak dalam pergaulan hidupnya dengan sesamanya.  




DAFTAR REFERENSI

Abbas Hamami Mintaredja. 2003. Teori-teori Epistemologi Common Sence. Yogyakarta: Penerbit Paradigma.
Poerwadarminta W. J. S. 1939. Baoesastra Djawa. Batavia: J. B Wolters.
Suwardi Endraswara. 2005. Buku Pinter Budaya Jawa: Mutiara Adiluhung orang Jawa. Yogyakarta: Gelombang Pasang.
Subalidinata R.S. 1968. Sarining Kasusastran Djawa. Yogyakarta: P.T Jaker.
http//kawansejati.ee.itb.ac.id/tatakrama
http//ukimedia.wordpress.com/2007/05/06/tata-krama/
http//www12-iman.com/data-artikel/tataa-krama-01.doc.
http//noorazlia.tripod.com/tatakrama:html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar