Kamis, 27 Maret 2014


PESONA AESAN GEDE, PESONA BUDAYA INDONESIA

PENDAHULUAN

            Indonesia memiliki keanekaragaman dalam keindahan budayanya. Selain dikenal dengan nama negara seribu pulau, tentu saja Indonesia juga layak disebut sebagai negara seribu budaya. Keanekaragaman budaya dari sabang sampai merauke merupakan harta yang tidak ternilai harganya. Banyaknya pulau dan suku yang ada di Indonesia, merupakan faktor utama perangsang munculnya budaya – budaya apik ala Indonesia.
            Seperti halnya bahasa daerah, lagu – lagu daerah, tari – tarian, upacara adat, rumah adat, makanan khas daerah, seni dan sastra daerah, busana juga merupakan perwujudan dari bentuk apresiasi budaya sebagai tampilan untuk mewakili identitas bersama. Terinspirasi dari pepatah Jawa yang mengatakan, “ajining raga saka busana”, yang artinya keelokan raga seeorang tercermin dari busana yang dia kenakan, saya mengangkat busana adat Palembang yang sudah terkenal dan menjadi kebanggan Indonesia karena keindahannya itu menjadi bahasan dalam tugas mengenai kebudayaan Palembang ini.
            Palembang memiliki kebudayaan yang menarik untuk dipelajari. Terfokus pada budaya berbusana, saya memilih busana adat Aesan Gede sebagai bahan untuk pembahasan dalam tugas ini. Saya memilih busana adat Aesan Gede, karena busana adat kebanggaan Palembang ini merupakan busana adat yang diangkat menjadi busana pengantin paling diminati untuk dipakai dalam upacara pernikahan oleh masyarakat Palembang karena keindahannya. 
            Busana berwarna cerah ini memiliki keunikan dan mencerminkan identitas masyarakat Palembang yang sangat berkaitan erat dengan sejarah kerajaan Sriwijaya. Seperti warna emas yang tersirat pada busana dalam tarian Gending Sriwijaya, busana Aesan Gede mewujudkan kebesaran dan keagungan masyarakat Palembang, bagaikan keagungan kerajaan Sriwijaya pada masa jayanya di masa lampau.



PESONA AESAN GEDE, PESONA BUDAYA INDONESIA

            Dari tradisi lisan yang tertutur dalam bahasa daerah, alunan melodi yang memikat dalam lagu – lagu daerah, hingga kemilau busana adat khas Palembang yang disandang merupakan cerminan dari pesona budaya Indonesia.
Dalam adat Palembang, terdapat 2 busana kebesaran yaitu Aesan Gede dan Aesan Pak Sangko. Aesan Pak Sangko digunakan oleh bangsawan diluar dinding keraton yang biasanya digunakan keluarga pembesar (datu, pesirah dan demang), sedangkan untuk kerabat raja atau bangsawan didalam keraton, menggunakan Aesan Gede pada zaman dahulu. 
Pesona Aesan Gede Bumi Sriwijaya milik wong kito galo ini mampu membius dunia akan ketegasan warna, keindahan pernak - perniknya, hingga keselarasan  untaian benang dalam halusnya lembaran kain songket yang kuat mampu mengalihkan mata dunia. Gemerlap perhiasan dengan warna terang seperti kuning keemasan, akan menjadi perhatian orang – orang yang melihatnya. Busana Aesan Gede merupakan simbolisasi dari identitas diri masyarakat Palembang. Aesan Gede pada awalnya merupakan busana yang dikenakan di masa kejayaan Bumi Sriwijaya pada masa kejayaan Sriwijaya yang kemudian diadopsi kedalam busana kebanggaan kesultanan Palembang pada abad ke - 16 hingga pertengahan abad ke – 19. Mulanya busana elite ini hanya dipakai oleh para putri – putri kerajaan serta para raja dan bangsawan kesultanan, bukan rakyat biasa. Sebagaimana namanya, Aesan Gede yang berarti besar, merupakan baju Raja Sriwijaya yang kemudian berkembang  dari masa ke masa sebagai baju adat masyarakat Palembang dan bisa dipakai oleh rakyat  biasa. Selain itu, busana mahal yang berlapis benang emas nan cantik ini juga menjadi busana yang dipakai dalam tarian adat asli Palembang, Gending Sriwijaya. Walaupun di kemudian hari busana ini bisa dipakai oleh rakyat biasa, namun keindahan busana Aesan Gede tidak terbantahkan, busana ini tetap mencitrakan keanggunan dan keagungan sosok bangsawan.
Busana adat Aesan Gede berwarna merah berpadu dengan warna keemasan ini semakin mempesona dengan taburan emas di mahkota Aesan Gede berupa bungo cempako (bunga cempaka), kembang goyang, dan kelapo stadan (kelapa satu tadan).  Belum lagi pesona kain songket yang menambah anggunnya busana wong kito galo ini. Beberapa kain songket khas Palembang antara lain Songket Nago Bersarang, Songket Kain Cantik Manis, Songket Kain Bunga Cina Hijau, Songket Bintang Bertabur, Songket Bungo Intan Lamo, Songket Nampah Pecak, dan Songket Bunga Pacar. Setiap wilayah di Palembang memiliki ciri dan keistimewaan sendiri yang mewakili identitas masyarakat setempat. Sudah menjadi rahasia umum apabila dibalik kerumitan busana adat khas daerah – daerah di Indonesia tersebut, selain menarik, indah, dan penuh pesona, busana daerah tersebut juga memiliki makna simbolisasi tertentu.
Berikut sedikit uraian tentang busana adat Palembang :
Busana Wanita
Nama Busana : Baju kooroong dan sewet sarong.
Susunan Busana:
1.      Baju Kooroong, merupakan baju adat yang biasanya dipakai wanita Palembang berupa baju kurung yang terbuat dari kain belacu warna merah bertabur motif bunga bintang keemasan.
2.      Songket, merupakan kain tenun khas Palembang yang menjadi kebanggaan Palembang. Kain songket lepus misalnya, biasa dipakai sebagai penutup dada. Kain tersebut didodot atau dibentuk seperti kipas, papah jajar atau belah rebung lepus yang berupa songket jantung dan terbuat dari tenunan benang emas. Untuk busana bagian bawah mereka biasa menggunakan sewet sarong atau kain songket yang biasanya mempunyai ciri khas kaya akan motif, motif yang sering dijumpai adalah motif bunga tanjung, bunga mawar dan bunga manggis. Motif bunga itu sendiri mempunyai arti masing-masing yakni, bunga mawar berarti penawar mala petaka, bunga melati merupakan lambang kesucian dan sopan santun pemakainya dan bunga tanjung menandakan keramahtamahan.Warna khas songket Palembang asli biasanya berintikan tiga warna utama yaitu, warna hitam keabu-abuan, merah hati ayam, dan warna kuning emas.
3.      Pelengkap Busana
a.      Tutup Kepala (koodong)
Bagi wanita yang sudah menikah atau sudah tua, biasanya memakai selendang sebagai tutup kepala yang disebut koodong (kerudung), namun pada Th.1942 kerudung ini sudah tidak dipakai lagi dan mengalami perubahan fungsi sebagai tudung saji/tutup makanan. Selendang tersebut biasanya diberi rumbai-rumabai. Namun sekarang, dalam perkembangannya, baju Aesan Gede misalnya, menggunakan mahkota kepala yang bernama Kasuhun tersusun atas beberapa elemen antara lain sisir / kam, komering ilir, tusuk soeal berbunga menghadap ke belakang, kembang goyang beringin atau tanjung, cempako limo, sanggul malang di belakang, sumping, dan anting bulan bintang di telinga.
b.      Ikat Pinggang.
Ikat pinggang yang digunakan sejenis pending yang disebut badong atau angkin. Tetapi saat ini jenis ikat pinggang tersebut sudah jarang dikenakan. Sebagai penggantinya dipakai stagen (kain kecil yang sangat panjang dikenakan melilit perut) dan pada Aesan Gede ikat pinggang yang dikenakan adalah ikat pinggang berwarna emas bernama Pending.


c.       Alas Kaki
Alas kaki yang digunakan disebut dengan terompah atau trompah dengan sulaman klinkan bagi orang yang sudah tua, dan untuk orang muda mengenakan cenela / selop tungkak tinggi (sandal bertumit tinggi).
4.      Tata Rias, tatanan rambut yang disanggul gelung malang dipadukan dengan mahkota Aesan Gede, bungo tusuk cempako, tusuk teratai/kembang goyang, dan untaian daun pandan (kembang ure) merefleksikan keagungan putrid - putri kerajaan Sriwijaya beberapa ratus tahun silam.



Busana Pria
Nama Busana : Kebaya Pendek dan Celano Belapas
Susunan Busana :
1.      Kebaya Pendek
Baju yang dikenakan biasa disebut kebaya pendek, biasa juga memakai kebaya londoong atau kelenkari yaitu kebaya yang panjangnya hingga dibawah lutut. Baju ini dibuat dari kain yang ditenun dan disulam dengan benang emas maupun benang biasa yang berwarna atau dapat juga dicap dengan cairan emas perada (di peradan).
2.      Celano Belapas atau Celana Pucuk Rebung
Pakaian bagian bawah berupa celana panjang yang dinamakan celano belapas yang terbuat dari kain yang ditenun mulai dari bagian bawah lutut sampai mata kaki dan disulam ( diangkeem ) dengan benang emas. Ada pula yang disulam dari bagian pinggul sampai kemata kaki dengan motif lajur. Jenis celana yang lain disebut dengan celano lok cuan ( celana pangsi : celana yang panjangnya sebatas lutut ). Jenis celana ini tidak disulam dengan benang emas, dan ukuran celananya lebih lebar.
Setelan celana panjang dikenakan selebar kain yang disebut sewet bumbak, kain ini dibuat dengan cara ditenun dan ditaburi dengan bunga-bunga kecil dari benang emas.
3.      Pelengkap Busana
Pelengkap busana pria daerah palembang berupa ikat pinggang  atau pending emas, dan keris yang dipakai sebagai pelengkap busana dilengkapi dengan sarung keris (pendok) yang terbuat dari emas, suasa atau perak dengan tatahan bermotif bunga, ada juga yang diberi batu permata, tergantung pada taraf ekonomi pemakainya, keris ini diselipkan pada lambung sebelah kiri disarungnya sehingga tidak kelihatan karna ditutupi kain atau celana. Hanya seorang raja yang boleh memakai keris yang gagangnya menghadap keluar. Alas kaki yang digunakan biasa disebut dengan terompah atau trompah merupakan alas sepatu tampa tali yang berbentuk gamparan terbuat dari potongan kayu yang bermutu, seperti kayu meranti payo atau ngerawan.
4.   Tutup kepala ( tanjak atau kopiah cuplak )
Baju daerah dan pakaian kebesaran untuk laki-laki dilengkapi dengan tanjak (tutup kepala) yang terbuat dari kain batik atau kain tenunan. Tanjak dibedakan atas tanjak kepudang, tanjak meler dan tanjak bela mumbang. Semuanya terbuat dari kain songket (kain tenunan tradisional) Palembang.saat ini sudah jarang orang yang memakainya, sebagi ganti yang dikenakan adalah kopiah sebagai penutup kepala. Sedangkan dalam busana Aesan Gede, tutup kepala yang digunakan adalah kopiah cuplak yang dilengkapi dengan sumping atau hiasan bolu warna warni dan beberapa bunga.

Dari berbagai ornamen – ornamen tersebut, setiap daerah di Palembang memiliki corak, motif dan bentuk yang berbeda – beda dan memiliki makna filosofi masing – masing yang sesuai dengan gambaran kehidupan atau cara hidup masing – masing sesuai dengan karakteristik masyarakat setempat.
Urutan Tata Rias dan Tata Busana Aesan Gede antara lain sebagai berikut:
1.      Mahkota Aesan Gede berupa Karsuhun (perempuan) dan Kopiah Cuplak (laki - laki)
  1. Terate, hiasan yang menutupi dada dan pundak yang digunakan pengantin laki-laki maupun perempuan. Terate ini berbentuk lingkaran bersudut lima berhiaskan motif bunga melati bersepuh emas. Hiasan ini melambangkan kesucian dan kemegahan. Bagian tepinya terdapat pekatu berbentuk bintang serta rantai dan juntaian lempengan emas berbentuk biji ketimun.
  2. Kalung Tapak Jajo, dikenal juga Kebo Munggah yang terbuat dari emas 24 karat memiliki lempengan bersusun tiga. Pantang digunakan laki-laki atau perempuan yang belum menikah. Bila belum menikah hanya boleh memakai kalung yang terdiri dari 2 atau 1 susun lempengan.
  3. Selendang Sawit, berjumlah dua buah yang menyilang dari bahu kiri ke pinggang sebelah kanan dan dari bahu kanan ke pinggang sebelah kiri. Selandang Sawit terbuat dari emas 22 karat dengan ragam hias sulur dan ditengahnya terdapat aksen intan.
  4. Pending, yaitu ikat pinggang pengantin perempuan dan laki-laki berbentuk lempengan emas berukuran 6 cm x 9 cm terbuat dari emas 20 karat. Kepala pending disebut badong yang diukir ragam hias daun, bunga, naga dan burung hong.
  5. Keris, digunakan oleh pengantin pria keturunan raja atau bangsawan yang diselipkan dipinggang depan sebelah kanan dengan gagang dihadapkan keluar. Sarung keris ini terbuat dari emas 20 karat. Bila rakyat biasa, penyematkan keris berada di bagian belakang tubuh sebagai tanda penghormatan pada atasan.
  6. Gelang Kepala Ulo, gelang berbentuk ular naga bersisik dan berpulir yang terbuat dari emas 24 karat juga taburan berlian. Gelang ini hanya digunakan pengantin perempuan pada lengan.
  7. Gelang Kecak, terbuat dari emas 24 karat berbentuk mata berukuran besar yang dihiasi pekatu polos dan persis ditengah kecak ada 2 tumpukan lingkaran berhias emas. Gelang kecak digunakan pada pangkal lengan yang digunakan oleh laki-laki maupun perempuan.
  8. Gelang Sempuru dan Gelang Kanu.
  9. Saputangan Segi Tigo, hanya boleh digunakan bangsawan yang terbuat dari beludru merah yang salah satu sisinya bertabur kelopak bunga melatu dari emas. Pada pinggirnya terdapat rantai dan juntaian bandul serta lempengan logam berbentuk wajik. Pada Aesan Gede, pria menggunakan saputangan pada jari tengah sebelah kanan, sedangkan pada Aesan Pak Sangko, pria menggunakannya pada jari telunjuk sebelah kiri. Sedangkan perempuan pada kedua adat tesebut memakai pada kelingking sebelah kanan.
Sebenarnya masih banyak hal yang perlu didalami mengenai songket, baik jenis maupun motif, gelang kaki (kepala nago, burung hong dll), sandal atau terompah (cenela), celana hingga kutang yang nanti dibedakan lagi antara kutang angkinan dan kutang jadam. Hal ini akan semakin rumit karena memiliki makna dan filosofi tertentu, sesuai dengan kebudayaan masing – masing wilayah di Bumi Sriwijaya.
Sedikit uraian diatas merupakan bagian kecil dari kenudayaan Indonesia yang memiliki keunikan, keindahan serta kebanggaan tersendiri sebagai bagian dari perwujudan ekspresi masyarakat Palembang yang mencerminkan jati diri serta identitas budaya bagi rakyat Palembang. Betapa kaya kebudayaan Indonesia, yang memang patut untuk kita banggakan sebagai aset budaya bangsa kita. Palembang, Bumi Sriwijaya nan elok, menyimpan pesona dalam busana Aesan Gede, pesona milik Indonesia yang mampu memukau mata dunia.





PENUTUP

      Ajining diri saka lathi, ajining raga saka busana, demikian bunyi pepatah Jawa yang mewakili wujud apresiasi masyarakat Indonesia dalam hal cerminan busana sebagai identitas suku bangsa Indonesia yang beraneka ragam.
Keanekaragaman pulau, agama, suku dan pola piker masyarakat Indonesia, mencadi benih lahirnya keanekaragaman budaya yang tercipta di Indonesia. Salah satu yang menarik untuk kita pelajari adalah budaya berbusana yang bermacam – macam dan memiliki filosofi hidup masing – masing daerah yang unik dan tidak dimiliki oleh negara – negara lain di dunia. Beruntunglah kita memiliki budaya berbusana yang sakral, namun mentimpan sejuta keeksotisan tersendiri. Seperti yang terpancar dalam salah satu busana etnik  milik Bumi Sriwijaya, busana Aesan Gede
Sumatra Selatan memiliki sebelas kabupaten dan empat kota yang terdiri atas wilayah Palembang, Banyuasin, Ogan Ilir dan Ogan Enim ini memiliki beragam corak khas sendiri dalam pengekspresian diri masyarakat setempat melalui busana Aesan Gede.  Namun, ada kesamaan dalam busana tersebut. Nuansa keemasan, merah merona dan sentuhan merah muda yang dipadu dengan pernak – pernik perhiasan yang glamor, elegan, dan mempesona menunjukkan jati diri masa keemasan Bumi Sriwijaya yang masih terjaga hingga sekarang. Busana Aesan Gede yang menjadi identitas masyarakat Palembang, merupakan karya budaya yang patut dibanggakan, karena melalui busana Aesan Gede tersebut, para leluhur secara tidak langsung menceritakan tentang sejarah, filosofi hidup dan tradisi masa lampau untuk ditularkan kepada generasi penerusnya melalui busana adat mereka.
Segala bentuk kebudayaan yang ada di Indonesia merupakan aset negara yang tidak dimiliki oleh negara lain dan merupakan harta negara yang sangat tidak ternilai harganya sudah sepantasnya untuk kita jaga serta kita lestarikan keberadaannya. Terpaan teknologi modern dan perkembangan zaman yang semakin maju memang telah melahirkan budaya – budaya popular yang baru dan lebih diminati generasi modern, jangan sampai menggerus kebudayaan asli bangsa di masa lampau yang menyimpan sejuta cerita yang terwujud dalam karya – karya istimewa nan mempesona. Budaya mengenai busana adat Palembang ini misalnya, yang berdiri tegak sebagai salah satu aset berharga negara kita yang patut untuk kita jaga dan kita lestarikan bersama, agar generasi – generasi selanjutnya bisa menikmati karya agung masa keemasan Bumi Sriwijaya tanpa kehilangan secuilpun identitas dirinya.  Cara praktis yang bisa kita lakukan adalah dengan terus konsisten menggunakan busana Aesan Gede ini maupun busana adat yang lainnya untuk upacara pernikahan maupun upacara adat yang lainnya, agar tidak hilang digerus oleh budaya popular karena perkembangan zaman yang semakin modern.
Busana adat menjadi cermin identitas masyarakat daerah setempat. Budaya  berbusana merupakan simbol peradaban budaya penduduk setempat. Dari busana adat Sumatra Selatan ini, dapat kita simpulkan bahwa budaya berbusana pada satu daerah memiliki keselarasan dan memuat unsur filosofi masyarakat setempat. Melalui warna, motif, corak dan elemen – elemen pelengkap lainnya yang tertuang dalam wujud busana khas Sumatra Selatan, Aesan Gede, seakan menambah makna sakral pada busana adat tersebut, selain menjadi ciri dan identitas masyarakat penggunanya.
Pesona Aesan Gede, pesona wong kito galo, pesona Indonesia, milik kita bersama.    

LAMPIRAN





 Busana Aesan Gede dalam upacara pernikahan adat Sumatra Selatan.





Tata Rias dan Tata Busana Aesan Gede, diambil dari scan Buku Tata Rias dan Tata Busana Pengantin Seluruh Indonesia, karya Ibu Tien Santoso halaman 84



REFERENSI

PUSTAKA :
Buku Tata Rias dan Tata Busana Pengantin Seluruh Indonesia karya Dra. Tien Sntoso, M.Pd terbitan Gramedia tahun 2010.
NON PUSTAKA :
askyscrapercity.com
llegrabridal.blogspot







2 komentar: